Senin, 12 Januari 2009

Perencanaan Penggunaan Lahan Dengan Pendekatan Evaluasi Lahan

Mata Kuliah Azas Perencanaan Wilayah Dan Kota

Perencanaan Penggunaan Lahan Dengan Pendekatan Evaluasi Lahan
Disusun Oleh :

Didit Yoga Prasetya 0610663014

Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota

Fakultas Teknik

Universitas Brawijaya

Malang

2008

1. Pendahuluan

Sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik dan proses-proses serta fenomena-fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah penggunaan sumberdaya lahan dalam tipe-tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan ternak (Hardjowigeno, 1985).

Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Dan menurut Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976 lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang. Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas:

(i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan.

(ii) komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).

Lahan sebagai suatu "sistem" mempunyai komponen- komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sys (1985) mengemukakan enam kelompok besar sumberdaya lahan yang paling penting bagi pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi geologis, (iii) tanah, (iv) air, (v) vegetasi, dan (vi) anasir artifisial (buatan). Dalam konteks pendekatan sistem untuk memecahkan permasalahan-permasalahan lahan, setiap komponen lahan atau sumberdaya lahan tersebut di atas dapat dipandang sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem lahan. Selanjutnya setiap subsistem ini tersusun atas banyak bagian-bagiannya atau karakteristik- karakteristiknya yang bersifat dinamis (Soemarno, 1990).

2. Klasifikasi Lahan

2.1 Dasar Klasifikasi Lahan

Lahan merupakan bentukan alam yang terjadi melalui serangkaian proses geometrik dan evolusi, maka klasifikasi lahan didasarkan pada:

  • · Kategori paling tinggi berdasarkan pada proses geomorfik utama, dan
  • · Berdasarkan bentuk lahan nya sendiri, relief, litologi, tingkat erosi atau torehan.

Beberapa faktor yang sangat penting adalah iklim, organisme, batuan induk, topografi, dan waktu. Interaksi faktor-faktor ini menen¬tukan laju pelapukan batuan induk yang hasil-hasilnya akan menyusun salah satu dari komponen-komponen tanah. Sifat- sifat komponen tanah ini selanjutnya akan menentukan tipe tanah dan tingkat kesesuaiannya bagi tanaman (Buol, Hole, dan McCracken, 1980).

2.2 Sistem Klasifikasi Lahan

Ada beberapa pendapat dari para ilmuan dalam pengklasifikasian lahan diantaranya adalah sebagai berikut:

· Menurut Christian dan Stewart (1968) yang dikembangkan di CSIRO (Australia) dengan menggunakan pendekataan sistem lahan. Sistem klasifikasi ini didasari atas aspek geomorfologi, iklim, dan penutupan lahan.

· Menurut Desaunettes (1977) yang menggunakan pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Sistem klasifikasi ini yang diuraikan dalam buku ”catalouge of landforms for indonesia” telah digunakan di pusat penelitian tanah dan agroklimat dan instansi lain, dan merupakan sumber utama dalam penyusunan sistem klasifikasi lanform untuk proyek LREP-I (1985 – 1990).

· Menurut Van Zuidam dan Zuidam – Cancelado (1979) dengan metode Terrain Analysis yang menggunakan dasar utama geomorfologi disertai dengan keadaan bentuk wilayah, stratigafi, dan keadaan medan.

· Menurut Burrman dan Balsem (1990) yang menggunakan pendekatan suatu lahan digunakan dalam proyek LREP – I untuk survey sumberdaya lahan tingkat skala 1 : 250.000.

3. Evaluasi Dan Kesesuaian Lahan

3.1 Evaluasi Lahan

Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan.

Berbagai sistem evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda seperti sistem perkalian parameter, sistem penjumlahan parameter dan sistem pencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman.

Sistem evaluasi lahan yang digunakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (dulu bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat), Bogor adalah Automated Land Evaluation System atau ALES (Rossiter dan Van Wambeke, 1997). ALES merupakan suatu perangkat lunak yang dapat diisi dengan batasan sifat tanah yang dikehendaki tanaman dan dapat dimodifikasi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan tentang evaluasi lahan. ALES mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (Land Qualities/Land Characteristics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman. Kriteria yang digunakan dewasa ini adalah seperti yang diuraikan dalam “Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian” (Djaenudin et al., 2003) dengan beberapa modifikasi disesuaikan dengan kondisi setempat atau referensi lainnya, dan dirancang untuk keperluan pemetaan tanah tingkat semi detil (skala peta 1:50.000). Untuk evaluasi lahan pada skala 1:100.000-1:250.000 dapat mengacu pada Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Tingkat Tinjau (skala 1:250.000) (Puslittanak, 1997).

Evaluasi lahan meliputi interpretasi data fisik kimia tanah, potensi penggunaan lahan sekarang dan sebelumnya (Jones et al., 1990), yang bertujuan untuk memecahkan masalah jangka panjang terhadap penurunan kualitas lahan yang disebabkan oleh pengunaannya saat ini, memperhitungkan dampak penggunaan lahan, merumuskan alternatif penggunaan lahan dan mendapatkan cara pengelolaan yang lebih baik (Sys, 1985; Rossiter, 1994).

Beberapa sistem evaluasi lahan (Klingebiel and Montgomery, 1976; Chan et al., 1975) menyarankan klasifikasi berdasarkan jumlah dan tingkat keragaman dan faktor penghambat produksi. The FAO Framework for Land Evaluation tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi lahan secara parametrik (Purnell, 1977). Hal ini disebabkan oleh kesulitan untuk mendapatkan kesepakatan terhadap kriteria yang akan digunakan dalam evaluasi, tetapi bukan berarti FAO Framework tidak dapat digunakan untuk pendekatan parametriks hanya perlu pengembangan pada parameter yang akan digunakan.

Keunggulan sistem parametriks ini tidak saja menghitung klas kesesuaian lahan berdasarkan sifat-sifat tanah saja akan tetapi memperhitungkan seluruh faktor iklim dan memetakannya dalam satu peta kesesuaian lahan.

Dalam penilaian parametriks, data iklim dibagi menjadi empat kelompok yaitu karakteristik iklim yang berhubungan dengan:

1) curah hujan.

2) Suhu

3) Kelembaban udara, dan

4) Sinar mata hari.

Untuk menghitung indeks iklim digunakan persamaan:

Keterangan:

CI = indeks iklim

Ri = rating ke dari karakteristik iklim

K = jumlah karakteristik iklim

Π = simbol matematika untuk perkalian.

Indeks yang diperoleh dikonversikan ke dalam seluruh rating iklim dengan persamaan empiris (Nasution, 2003): CR = 13,999 + 0,897 CI r = 0,99. Nilai inilah yang digunakan untuk evaluasi lahan dengan menggabungkannya dengan indeks lahan.

3.1.1 Prinsip – Prinsip Evaluasi Lahan

Dasar prinsip dari kerangka kerja evalusi lahan adalah :

1. Kesesuaian lahan, dinilai dan diklasifikasikan sesuai dengan penggunaan lahan yang

2. Direncanakan.

3. Evaluasi memerlukan suatu perbandingan antara keuntungan yang akan diperoleh dan masukan yang diberikan terhadap lahan

4. Pendekatan multi disiplin.

5. Evalusi dilaksanakan dengan pertimbangan berbagai faktor fisik, kimia tanah, ekonomi dan social.

6. Kesesuaian telah memperhitungkan keberlanjutan penggunaan lahan, dan

7. Evaluasi meliputi berbagai pilihan penggunaan lahan.

3.2 Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan peng- gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985).

Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan – masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Brinkman dan Smyth (1973) telah menemukan beberapa kualitas lahan yang menentukan tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman. Kualitas lahan ini adalah ketersediaan air tanah, ketersediaan unsur hara, daya menahan unsur hara, kemasaman, ketahanan terhadap erosi, sifat olah tanah, kondisi iklim, dan kondisi daerah perakaran tanaman. Konsepsi ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh Soepraptohardjo dan Robinson (1975), yang telah mengemukakan beberapa faktor penting lainnya, yaitu kedalaman efektif tanah, tekstur tanah di daerah perakaran, pori air tersedia, batu-batu di permukaan tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah, keracunan hara, kemiringan, erodibilitas tanah, dan keadaan agro klimat. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai.

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable).

Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).

Kalsifikasi Kesesuaian Lahan:

· Kelas S1 : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.

· Kelas S2 : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan factor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.

· Kelas S3 : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi factor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.

· Kelas N : Lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.

Gambar. 3.1 Struktur Kelas Kesesuaian Lahan (Drissen Dan Koninj, 1992)

Tabel 3.1 Ordo, Sub Ordo dan Klas Kesesuaian Lahan, Nilai Indeks,

Berdasarkan Jumah dan Tingkat Faktor Pembatas

Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas kondisi perakaran (rc=rooting condition).

Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan subkelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama factor kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50>

3.3 Kualitas Dan Karakteristik Lahan

Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu biasanya dievaluasi dengan menggunakan karakteristik lahan atau kualitas lahan. Karakteristik lahan merupakan kelengkapan lahan itu sendiri, yang dapat dihitung atau diperkirakan seperti curah hujan, tekstur tanah dan ketersediaan air, sedangkan kualitas lahan lebih merupakan sifat tanah yang lebih kompleks, seperti kesesuaian kelembaban tanah, ketahanan terhadap erosi dan bahaya banjir (FAO, 1977).

Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaman (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan (FAO, 1976). Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan diberikan pada Tabel.

Tabel 3.2 Hubungan Antar Kualitas dan Karakteristik Lahan Yang dipakai Pada Metode Evaluiasi Lahan menurut Djaenudin (2003).

Karakteristik lahan yang erat kaitannya untuk keperluan evaluasi lahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 faktor utama, yaitu:

3.3.1 Topografi

· Topografi yang dipertimbangkan dalam evaluasi lahan adalah bentuk wilayah (relief) atau lereng dan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Relief erat hubungannya dengan faktor pengelolaan lahan dan bahaya erosi. Sedangkan faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut berkaitan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang berhubungan dengan temperatur udara dan radiasi matahari. Relief dan kelas lereng disajikan pada Tabel.

Tabel 3.3 Bentuk Wilayah Dan Kelas Lereng

· Ketinggian tempat diukur dari permukaan laut (dpl) sebagai titik nol. Dalam kaitannya dengan tanaman, secara umum sering dibedakan antara dataran rendah (<700> 700 m dpl.). Namun dalam kesesuaian tanaman terhadap ketinggian tempat berkaitan erat dengan temperatur dan radiasi matahari. Semakin tinggi tempat di atas permukaan laut, maka temperatur semakin menurun. Demikian pula dengan radiasi matahari cenderung menurun dengan semakin tinggi dari permukaan laut. Ketinggian tempat dapat dikelaskan sesuai kebutuhan tanaman.

3.3.2 Tanah

· Faktor tanah dalam evaluasi kesesuaian lahan ditentukan oleh beberapa sifat atau karakteristik tanah di antaranya drainase tanah, tekstur, kedalaman tanah dan retensi hara (pH, KTK), serta beberapa sifat lainnya diantaranya alkalinitas, bahaya erosi, dan banjir/genangan.

Ø Drainase Tanah

· Drainase tanah menunjukkan kecepatan meresapnya air dari tanah atau keadaan tanah yang menunjukkan lamanya dan seringnya jenuh air. Kelas drainase tanah disajikan pada Tabel 3. Kelas drainase tanah yang sesuai untuk sebagian besar tanaman, terutama tanaman tahunan atau perkebunan berada pada kelas 3 dan 4. Drainase tanah kelas 1 dan 2 serta kelas 5, 6 dan 7 kurang sesuai untuk tanaman tahunan karena kelas 1 dan 2 sangat mudah meloloskan air, sedangkan kelas 5, 6 dan 7 sering jenuh air dan kekurangan oksigen.

Tabel 3.4 Karakteristik Kelas Drainase Tanah Untuk Evaluasi Lahan

Keadaan penampang tanah pada tanah-tanah yang berdrainase baik, agak baik, agak terhambat dan sangat terhambat disajikan pada Gambar 4.1



Gambar 3.2 Keadaan Penampang Tanah Berdasarkan Keadaan Drainase

Ø Teksture

· Tekstur merupakan komposisi partikel tanah halus (diameter 2 mm) yaitu pasir, debu dan liat. Tekstur dapat ditentukan di lapangan seperti disajikan pada Tabel 4.4, atau berdasarkan data hasil analisis di laboratorium dan menggunakan segitiga tekstur seperti disajikan pada Gambar 4.2. Pengelompokan kelas tekstur adalah:

· Halus (h) : Liat berpasir, liat, liat berdebu

· Agak halus (ah) : Lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat

· berdebu

· Sedang (s) : Lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung

· berdebu, debu

· Agak kasar (ak) : Lempung berpasir

· Kasar (k) : Pasir, pasir berlempung

· Sangat halus (sh) : Liat (tipe mineral liat 2:1)

Tabel 3.5 Menentukan Kelas Teksture



Gambar 3.3 Segitiga Teksture Tanah

3.3.3 Iklim

Ø Suhu Udara

· Pada daerah yang data suhu udaranya tidak tersedia, suhu udara diperkirakan berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut. Semakin tinggi tempat, semakin rendah suhu udara rata-ratanya dan hubungan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus Braak (1928):

26,3 C (0,01 x elevasi dalam meter x 0,6 C)

Ø Curah Hujan

· Data curah hujan diperoleh dari hasil pengukuran stasiun penakar hujan yang ditempatkan pada suatu lokasi yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Pengukuran curah hujan dapat dilakukan secara manual dan otomatis. Secara manual biasanya dicatat besarnya jumlah curah hujan yang terjadi selama 1(satu) hari, yang kemudian dijumlahkan menjadi bulanan dan seterusnya tahunan. Sedangkan secara otomatis menggunakan alat-alat khusus yang dapat mencatat kejadian hujan setiap periode tertentu, misalnya setiap menit, setiap jam, dan seterusnya.

· Untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan biasanya dinyatakan dalam jumlah curah hujan tahunan, jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah. Oldeman (1975) mengelompokkan wilayah berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering berturut-turut. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan >200 mm, sedangkan bulan kering mempunyai curah hujan <100>100 mm) dan bulan kering (<60>

Karakteristik lahan tersebut (terutama topografi dan tanah) merupakan unsur pembentuk satuan peta tanah.

3.4 Metoda Evaluasi Lahan



Gambar 3.4 Diagram Alir Metoda Evaluasi Lahan

4. Perencanaan Penggunaan Lahan

Konsep lahan haruslah tidak disamakan dengan tanah. Dalam pengertian lahan sudah termasuk tanah dengan segala sifat-sifatnya serta keadaan lingkungan sekitarnya. Jika sifat-sifat tersebut sama dalam segala aspek dikatakan unit lahan (Drissen and Koninj, 1992). Unit lahan ini biasanya di petakan dengan karakteristik yang spesifik dan merupakan dasar untuk mengevaluasi lahan (FAO, 1976; 1983).

Tujuan utama mendefenisikan unit lahan adalah agar diperoleh hasil maksimal dalam penilaian kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dan mendapatkan cara yang tepat dalam pengelolaannya (FAO, 1983). Untuk mendeskripsikan unit lahan haruslah merujuk kepada karakteritik lahan seperti kemiringan lahan, ketersediaan air dan sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Nasution, 1989).

Menurut FAO (1985) perencanaan penggunaan lahan merupakan penilaian yang sistematik terhadap lahan untuk mendapatkan alternatif penggunaan lahan dan memperoleh opsi yang terbaik dalam memanfaatkan lahan agar terpenuhi kebutuhan manusia dengan tetap menjaga agar lahan tetap dapat digunakan pada masa yang akan datang. Sedangkan evaluasi lahan merupakan penilaian terhadap lahan untuk penggunaan tertentu.

5. Penutup

5.1 Kesimpulan

· Perencanaan penggunaan lahan merupakan penilaian yang sistematik terhadap lahan untuk mendapatkan alternatif penggunaan lahan dan memperoleh opsi yang terbaik dalam memanfaatkan lahan agar terpenuhi kebutuhan manusia dengan tetap menjaga agar lahan tetap dapat digunakan pada masa yang akan datang.

· Alir Dari Metoda Evaluasi Lahan adalah:

o Data Survey Tanah, yang mencakup kesesuaian lahan.

o Karakteristik/ Kualitas lahan, dengan mencakup beberapa factor parametric yaitu, iklim, curah hujan, suhu, tanah, dan kondisi tipografi.

o Kebutuhan tanaman yang didasari indeks pembatas.

o Sehingga memunculkan sebuah nilai untuk mencapai pengklasifikasian (klas).

· Tujuan dari evaluasi lahan adalah untuk memecahkan masalah jangka panjang terhadap penurunan kualitas lahan yang disebabkan oleh pengunaannya saat ini, memperhitungkan dampak penggunaan lahan, merumuskan alternatif penggunaan lahan dan mendapatkan cara pengelolaan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

FAO. ( 1976). A Framework for land evaluation. FAO Soil Bulletin, 32. Rome. FAO 79 p.

FAO. (1977). Guidelines for soil profile description (2nd edition). Soil Resources Development and Conservation Service. Rome. Land and Water Devlopment Division. FAO of the United Nations. 66 p.

FAO. (1983). Guidelines : Land evaluation for Rainfed Agriculture. FAO Soil Bull. No 52.Food and Aagric. Rome. Organization of the United Nation. 273 p.

FAO. (1985 ) Guidelines: Land evaluation for irrigated agriculture. FAO Soils Bulletin 55. Rome. FAO of the United Nations. 231 p.

Ritung, S., dan A. Hidayat. 2003. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian di Propinsi Sumatera Barat, hal. 263-282. Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam, Bandar Lampung 29-30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia.

Widagdo, Marsoedi Ds. 1997. Pedoman Klasifikasi Landform. Bogor.PT.Andal Agrikarya Prima

Ritung, Sofyan, dkk.2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan. Bogor. Balai Penelitian Tanah Dan World Agroforestry Center

Zee, E. van der. 1996. SDPLE: Soil Data Processing for Land Evaluation. CSAR Bogor, TR No. 19 Version I, LREP-II Part C: Strengthening Soil Resources Mapping. Technical Report, December 1996.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1995. Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semi Detail (Skala 1:50.000) Daerah Tondano Sulawesi Utara Untuk Penyediaan Air dan Hydropower. Laporan Akhir No. 03c/P2SLA/19-04/95. Proyek Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.

Studi Kasus.

PENATAAN RUANG WILAYAH PERTANIAN MELALUI PENDEKATAN EVALUASI LAHAN

(Studi Kasus: di Daerah Aliran Sungai Tondano)

M. Hendrisman 1) dan Rudy S. Rivai 2)

1)Staf Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat

2)Staf Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

ABSTRAK

Perencanaan pembangunan pertanian yang berbasis lahan, harus memperhatikan kondisi dan kemampuan sumberdaya lahannya. Pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan kelas kesesuaian lahan dan agro ekologinya, cenderung akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan tidak berkelanjutan. Evaluasi lahan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dapat menghasilkan data yang dapat dijadikan acuan bagi suatu perencanaan wilayah. Evaluasi lahan secara fisik dapat menjawab tingkat kesesuaian lahannya dan secara ekonomik akan menjawab kelayakan usahataninya. Berdasarkan hasil evaluasi lahan kualitatif (fisik) yang dilanjutkan dengan kuantitatif (ekonomik) ditunjang data sosial budaya spesifik lokasi akan dihasilkan suatu arahan penggunaan lahan yang lestari dan dapat diterima masyarakat petani setempat dengan tidak mengorbankan keadaan penggunaan lahan yang sudah ada. Program ALES (Automated Land Evaluation System) digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan guna mengembangkan berbagai komoditas pertanian yang paling sesuai. Studi kasus dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Hasil evaluasi lahan dilokasi penelitian seluas 55.425 Ha secara umum menunjukkan tingkat kesuburan yang relatif baik, terutama untuk pengembangan komoditas tanaman keras seperti kopi, cengkeh, kakao dan vanila. Sedangkan tanaman semusim yang agak sesuai untuk dikembangkan adalah padi, jagung, kacang tanah, kentang dan sayuran lainnya. Agar usahatani yang dilakukan dapat berkelanjutan, terutama pada zona I, II dan III perlu dilakukan tindakan konservasi tanah, seperti pembuatan teras bangku.

Kata kunci: Penataan ruang wilayah, sumberdaya lahan, evaluasi lahan, kelayakan usahatani, program ALES, DAS Tondano, Sulawesi Utara.

PENDAHULUAN

Penggunaan lahan untuk mendukung program ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano memerlukan data dan informasi sumberdaya lahan yang handal. Ketidak lengkapan data dan informasi sumberdaya lahan tersebut dapat berakibat pada pemanfaatan lahan yang tidak optimal, dan bahkan dapat menimbulkan dampak kerusakan lahan di daerah hulu yang.

diikuti terjadinya banjir di bagian hilir. Kerusakan lahan tersebut dapat merubah kondisi klimat lokal seperti perubahan suhu, kelembaban udara, dan curah hujan sehingga kondisi penampang tanah juga ikut berubah saling berkaitan erat, diantaranya: erosi, degrasi lahan, kemampuan menahan air, dan sebagainya. Keadaan tersebut akan mengganggu pembangunan pertanian dan dapat merugikan semua pihak.

Daerah studi kasus untuk kajian ini yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara telah dipetakan oleh Puslittanak (1994/95) melalui proyek LREP-II yang arahannya untuk penyediaan air bersih dan tenaga air (hydropower) untuk PLTA yang berasal dari D. Tondano (Puslittanak (1995).

Evaluasi lahan di daerah penelitian dilakukan untuk mengetahui kecocokan/ kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas yang mungkin untuk dikembangkan, sehingga lahan tersebut dapat berproduktivitas secara optimal dan sekaligus dapat mengetahui dan mengantisipasi kendala yang dihadapi.

Danau Tondano merupakan reservoir alam dengan luas sekitar 4.800 ha dengan volume air sekitar 680 juta m3 berfungsi penting sebagai sumber air minum, sumber tenaga listrik (PLTA di Tonsea Lama, Tenggari I dan II), irigasi, perikanan, dan parawisata. Isu berkembang akhir-akhir ini danau Tondano telah mengalami pendangkalan yang parah yang disebabkan oleh erosi dan eutrifikasi. Jika keadaan ini dibiarkan, maka dikhawatirkan dalam jangka waktu 25 tahun mendatang danau tersebut menjadi daratan (Hikmatullah, 1996 dalam Hikmatullah et al., 1998).

Hasil kajian di daerah Tondano dan sekitarnya, diharapkan dapat membantu Pemerintah Daerah dalam penyusunan perencanaan pembangunan pertanian yang berbasis lahan di era otonomi sekarang ini, sehingga pengembangan agribisnis di daerah ini akan tangguh dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta PAD pemerintah daerah setempat. Serta dapat mengantisipasi secara dini kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) atau daerah tangkapan hujan (catchment area) Tondano dengan tidak mengorbankan keadaan penggunaan lahan yang ada.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Lokasi penelitian di daerah aliran sungai Tondano, mencakup sebagian Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara seluas 55.425 Ha.

1. Peta: Peta rupabumi, skala 1: 50.000, Peta Tanah, Peta Penggunaan Lahan, Peta Zone Agro-Ecology, dan Peta Arahan Penggunaan Lahan.

2. Data tanah dalam bentuk basisdata tanah terdiri dari data Site and Horison (SH), data analisis kimia tanah (SSA), dan satuan peta tanah (MU) atau Representative Soil Series (RSS).

3. Rerata data iklim dari stasiun pengamat iklim Manado (Air port), Tonsea Lama, Tondano, Langowan, Telap, Sonder, dan Tomohon.

4. Data Usahatani dikumpulkan melalui survai usahatani pada berbagai tipe penggunaan lahan dan kemungkinan jenis komoditi yang sesuai untuk dikembangkan.

Metode

1. Pengumpulan data berupa data spasial, dan tabular berupa data karakteristik lahan, data iklim, dan data usahatani (sosial ekonomi pertanian).

2. Pengolahan data iklim dihitung dengan metoda Pennman dengan bantuan program Cropwat (1991) untuk menentukan neraca air sebagai dasar penetapan waktu dan pola tanam.

3. Pengolahan basis data tanah menggunakan program mediator yaitu SDPLE (Soil Data Processing for Land Evaluation) tertuang dalam TR No. 19 Version I, LREP II (1996). Data karakteristik lahan berupa: kondisi terrain (lereng, torehan, keadaan batuan, dan bahaya banjir); media perakaran (kedalaman efektip, tekstur, drainase, struktur tanah, density, dan kemasakan tanah), dan sifat kimia tanah seperti reaksi tanah, bahan sulfidik, dan kandungan bahan organik.

4. Evaluasi lahan dilakukan dengan beberapa tahap pengerjaan, yaitu: Penyusunan model evaluasi lahan dengan program ALES dan disusun dengan menetapkan tipe penggunaan lahan (TPL) atau Land Use Type (LUT), persyaratan penggunaan lahan (PPL) atau Land Use Requirement (LUR), memilih karakteristik lahan (KL) atau Land Characteristic (LC), dan menyusun pohon keputusan atau Decision Tree (DT). Prosedur penyusunan model evaluasi lahan secara rinci mengacu pada Standard Procedure for Land Evaluation (Technical Report No. 18, Version 4.0, 1998).

Menurut konsep dasar Kerangka Evaluasi Lahan (FAO, 1976; FAO, 1983, Rossiter, 1994, 1995; Rossiter et al, 1994) dibedakan atas kesesuaian lahan secara fisik (kualitatif) dan kesesuaian lahan secara ekonomik (kuantitatif). Secara fisik dibedakan atas 4 kelas, yaitu: Sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N). Secara ekonomik dibedakan atas 5 kelas, yaitu: Kelas 1 sangat sesuai (S1) penggunaannya sangat menguntungkan; Kelas 2 cukup sesuai (S2) penggunaannya cukup menguntungkan; Kelas 3 sesuai marjinal (S3) penggunaannya marjinal menguntungkan; Kelas 4 tidak sesuai secara ekonomik (N1), penggunaannya memungkinkan tetapi tidak menguntungkan saat ini, dan dengan meningkatkan manajemen dapat menaikan kelasnya; Kelas 5 tidak sesuai permanen, secara ekonomik (N2) penggunaannya tidak memungkinkan, dan kelas ini secara fisik berasal dari kelas N.

Memprediksi kesesuaian lahan bagi komoditas pertanian diperlukan kriteria kelas kesesuaian lahan dari yang paling sesuai (S1) sampai yang tidak sesuai (N). Kriteria kelas kesesuaian lahan telah banyak disusun antara lain oleh FAO & CSR Staff (1983), (Sys et al., 1993), dan (Djaenudin et al., 2000).

Komputasi merupakan proses memadukan PPL untuk setiap TPL dengan kondisi KL yang dipunyai oleh setiap satuan lahannya, untuk menetapakan kelas atau subkelas kesesuaian lahan serta macam kendalanya. Cara pengoperasian program ALES secara detail dapat dilihat pada User Mannual ALES Versio n 4.65d (Rossiter, 1996, 1997) atau Petunjuk Teknis Penyusunan Program ALES (Marwan et. al., 2000). Hasil evaluasi lahan melalui program ArcView (GIS) disajikan dalam bentuk spasial (peta kesesuaian lahan).

Secara singkat rangkaian kegiatan evaluasi lahan dari penyiapan data sampai pada tampilan peta disajikan pada Gambar 1.

013 Gambar 1. Rangkaian kegiatan evaluasi lahan di Lokasi Penelitian Tondano.

Arahan penggunaan lahan di lokasi penelitian merupakan perwilayahan komoditas pertanian yang disusun berdasarkan pertimbangan kelas kesesuaian lahan, komoditas andalan atau terpilih, tenaga kerja, peluang pasar, aksesibilitas terutama sarana dan prasarana transportasi, dan aspek lainnya (keamanan, sosial budaya, dll).

Alur penyusunan pewilayahan komoditas pertanian secara garis besar dapat ditelaah pada Gambar 2.

012 Gambar 2. Diagram alir penyusunan pewilayahan komoditas pertanian.

Sumber: Juknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian (Puslitbangtanak, 2001)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daerah penelitian secara astronomis terletak pada 1°05’ sampai 1°23’ LU dan 124°47’ sampai 125°00 BT tercakup dalam peta rupabumi sebagian lembar Manado (sheet 2417-23) dan sebagian lembar Langowan (sheet 2417-21). Secara administrasi termasuk dalam 10 kecamatan (Tomohon, Tondano, Kawangkoan, Sonder, Tompaso, Langowan, Remboken, Kakas, Eris, dan Kombi), Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara. Elevasi daerah penelitian berada mulai dari 600 m dpl (sekitar danau Tondano).

Kota Tondano berjarak sekitar 35 km dani Manado dan dapat ditempuh sekitar 45 menit perjalanan dengan kendaraan darat. Lokasi penelitian terdekat dari Manado yaitu Tomohon dan Kaskasen yaitu berjarak sekitar 25 km. Fasilitas alat angkutan ke setiap kota kecamatan dan desa-desa cukup tersedia dan lancar dengan sarana perhubungan cukup baik. Pelabuhan udara terdekat yaitu Pelud Samratulangi di Manado, sedangkan pelabuhan laut berada di Bitung.

Hikmatullah et al. (1998) mengemukakan bahwa penggunaan lahan daerah penelitian sebagian besar merupakan lahan pertanian terdiri dari kebun cengkeh rakyat (40,99%), pertanian lahan kering/tegalan (19,26%), pesawahan (12,12%), kebun campuran (3,87%), dan kebun kelapa (0,39%). Lahan non pertanian terdiri dari hutan (7,93%), semak belukar (3,79%), rumput rawa/sagu (0,65%) lahan pemukiman (2,34%), dan danau Tondano (8,66%).

Kondisi iklim di daerah penelitian yang diwakili oleh 5 stasiun iklim mempunyai rerata curah hujan tahunan berkisar dari 1.541 mm (Tonsea Lama) sampai 2.094 mm (Sonder) dengan hari hujan berkisar dari 67 sampai 131 hari/tahun dan intensitas hujan harian berkisar antara 14,4 sampai 25,4 mm. Sebaran hujan mempunyai dua puncak musim hujan (bimodal) yaitu pada bulan Mei dan Nopember.

Berdasarkan Schmidt dan Ferguson (1951) daerah penelitian dibedakan menjadi Tipe hujan A (Tondano, Tomohon, dan Sonder) dan Tipe hujan B (Tonsea Lama dan Langowan). Menurut Koppen termasuk tipe iklim Af (tipe iklim tropis basah), sedangkan Oldeman dan Darmiyati (1977) membedakan ke dalam zona agroklimat B1 mempunyai bulan basah (> 200 mm) selama 7-9 bulan dan bulan keringnya (<>

Hasil perhitungan neraca air tanah (Thorenthwaite and Mather, 1957) berdasarkan data iklim Tondano menunjukkan bahwa periode surplus terjadi selama 9 bulan (Oktober sampai Juni) sebesar 676 mm. Periode defisit mulai bulan Juni sampai September sebesar 8 mm. Kondisi neraca air tersebut sangat menunjang kegiatan pertanian terutama tanaman pangan. Sumber mata air dijumpai di bawah kaki volkan. seperti G, Lokon, G. Soputan, G. Mahawu, dll.

Picture4 Berdasarkan neraca air tersebut maka daerah penelitian disusun pola tanam baik untuk tanaman pangan maupun tanaman tahunan seperti disajikan pada Gambar 3.

Jan

Peb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agu

Sep

Okt

Nop

Des

Tanaman Pangan Semusim di Lahan Basah


Padi

sawah - I

Padi sawah - II

Palawija


Tanaman Pangan Semusim di Lahan Kering


Padi gogo/

sayuran

Palawija/sayuran

Bera


Tanaman Tahunan


Awal tanam

Masa pertumbuhan

Pematangan

Panen


Gambar 3. Neraca air dan usulan pola tanam di daerah penelitian.

Effendi (1976) mengemukakan formasi geologi di daerah penelitian dibedakan 4, yaitu endapan danau dan sungai (Qs) terdiri dari pasir, lanau, konglomerat, dan lempung napalan tersebar di sebelah utara (Tondano) dan selatan danau (Kaima, Tolok, Langowan); batuan gunung api muda (Qv) terdiri dari lava, bom, lapili, dan abu tersebar di sekitar G. Lengkoan, G. Mahawu, G. Lokon, Tataran, Peloloan, sekitar bagian hulu S. Nenanga, G. Rindengan, dan Noongan; tuf Tondano (QTv) terdiri dari klastika gunungapi kasar terutama bersipat andesit dengan banyak pecahan batuapung, tufa, tufa lapili, dan breksi tersebar di sekitar Kawangkoan,Tolok, Kayuwatu, Kapatatan, Sawangan, utara kota Tondano, hulu S. Ranawangko; dan batuan gunungapi tua (Tmv) terdiri dari breksi, lava dan tufa, aliran lava yang bersusunan andesit sampai basal tersebar di sekitar G. Kawatak memanjang ke utara sampai G. Wakaeinben atau sisi timur danau.

Berdasarkan interpretasi foto udara dan pengecekan lapangan (Puslittanak, 1995) landform dibedakan menjadi grup aluvial dengan relief umumnya datar (<3%) style=""> Sisanya seluas 50.675 ha (91,43%) merupakan grup volkan yang terdiri dari kerucut volkan, dataran volkan, aliran lava dan lahar, lungur volkan berbukit, dan lungur volkan bergunung.

Tanah yang dijumpai masuk dalam 5 ordo tanah klasifikasi (Soil Survey Staff , 1998), yaitu:

1. Histosols yang diketemukan termasuk grup Haplosaprists, berkembang dari endapan bahan organik, ketebalan organik 0,5 – 2 m yang berada di atas bahan lakustrin, reaksi tanah masam (pH 4,6, kadar Ca dan Mg tinggi, kejenuhan basa tinggi.

2. Inceptisols dibedakan menjadi 2 grup (Epiaquepts dan Eutrudepts). Tanah Epiaquepts berkembang dari endapan lakustrin, drainase buruk, solum dalam, tekstur lempung liat berdebu sampai liat, reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa tinggi. Tanah Eutrudepts berkembang dari bahan volkan, drainase baik, solum dalam, tekstur liat sampai liat berdebu, reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa tinggi.

3. Andisols dibedakan menjadi 3 grup (Udivitrands, Hapludands, dan Endoaquands). Tanah Udivitrands berkembang dari bahan volkan, drainase cepat, solum dangkal sampai dalam, tekstur lempung berpasir sampai pasir berlempung, reaksi tanah agak masam, bahan organik tinggi, banyak mengandung gelas volkanik, dan kejenuhan basa sedang. Tanah Hapludands berkembang dari bahan volkan (lava andesit), drainase baik, solum dalam, tekstur lempung berdebu sampai liat berdebu, bahan organik tinggi, reaksi tanah agak masam, dan kejenuhan basa sedang. Tanah Endoaquands berkembang dari bahan endapan volkan, drainase buruk, solum dalam dengan air tanah dangkal, tekstur lempung berdebu sampai liat berdebu, reaksi tanah agak masam, dan kejenuhan basa tinggi. Untuk ordo tanah Andisols secara umum retensi fosfat cukup tinggi (>25%) sehingga pemupukan P diperlukan lebih tinggi dari keadaan normal.

4. Mollisols dibedakan menjadi 3 grup (Hapludolls, Argiudolls, dan Endoaquolls). Tanah Hapludolls berkembang dari bahan volkanik, drainase baik, solum dalam, tekstur lempung berdebu sampai lempung liat berdebu yang kadang-kadang berkerikil, reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa tinggi. Tanah Argiudolls berkembang dari bahan volkanik (lava), drainase baik, solum dalam, tekstur liat sampai liat berat, reaksi tanah netral, bahan organik tinggi, dan kejenuhan basa tinggi. Tanah Endoaquolls berkembang dari bahan aluvium-koluvium, drainase buruk, air tanah agak dangkal sampai dangkal, solum dalam, tekstur liat berdebu sampai liat, reaksi tanah netral, bahan organik tinggi, dan kejenuhan basa tinggi.

5. Alfisols dibedakan menjadi 2 grup (Hapludalfs dan Rhodudalfs). Tanah Hapludalfs dan Rhodudalfs berkembang dari bahan volkanik (tuf, lava andesit dan lava basat), drainase baik, solum dalam, tekstur liat berdebu sampai liat, reaksi tanah agak masam sampai netral, dan kejenuhan basa tinggi.

Hasil evaluasi lahan berupa tabular diolah dengan program SDPLE dan selanjutnya digabungkan (joint) dengan atribut spasial (peta Tondano) melalui Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam program ArcView. Berdasarkan pengolahan SDPLE tersebut, bahwa untuk komoditas jagung dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas 6.118 ha, S1- seluas 1.696 ha, S1N seluas 1.341 ha, S2 seluas 4.122 ha, S2+ seluas 2.150 ha, S2- seluas 2.650 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 13.581 ha, S3+ seluas 3.413 ha, S3N seluas 3.166 ha, NS seluas 3.597 ha, dan N 6.608 ha.

Komoditas vanili dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas 5.671 ha, S1- seluas 1.696 ha, S1N seluas 1.341 ha, S2 seluas 4.912 ha, S2+ seluas 1.807 ha, S2- seluas 2.650 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 13.425 ha, S3+ seluas 3.413 ha, S3N seluas 3.322 ha, NS seluas 3.597 ha, dan N 6.608 ha.

Komoditas cengkeh dengan tingkat pengelolaan sedang didapat: kelas S1 seluas 17.742 ha, S1- seluas 5.681 ha, S1N seluas 1.798 ha, S2 seluas 3.531 ha, S2+ seluas 2.467 ha, S2- seluas 286 ha, S2N seluas 53 ha, S3 seluas 6.855 ha, S3+ seluas 5.903 ha, S3N seluas 958 ha, NS seluas 2.109 ha, dan N 1.112 ha.

Penyebaran untuk setiap kelas kesesuaian lahan tersebut disajikan pada Gambar 4.

01 Gambar 4. Peta Kesesuaian Lahan untuk Jagung, Kacang tanah, Vanili dan Cengkeh.

Berdasarkan hasil evaluasi lahan di daerah penelitian dan dikaitkan dengan penggunaan lahan yang ada, asesibilitas, dan sosial budaya setempat, maka arahan penggunaan lahan (tata ruang wilayah pertanian) yang kiranya akan dapat meningkatkan produktivitas lahannya mengacu pada usahatani yang tangguh dengan memperhatikan kelestarian lingkungan tanpa mengorbankan penggunaan lahan yang ada, yaitu:

1. Lahan untuk pengembangan padi sawah seluas 8.170 ha tersebar di sekitar Tondano, Kakas, Langowan, Tompaso, dan Panasen. Lahan tersebut relatif datar, sifat fisik dan kimia tanah cukup baik, sumber air tersedia, sumber tenaga tersedia, dan sarana transportasi dan infrastruktur cukup memadai.

2. Lahan untuk pengembangan palawija dengan komoditas seperti jagung, kacang tanah, kentang. dll seluas 12.683 ha tersebar di sebelah barat Langowan, timur Sonder, dan sekitar Tomohon. Lahannya datar sampai berombak, sifat fisik dan kimia tanah cukup baik, sumber tenaga tersedia, dan sarana transportasi dan infrastruktur cukup memadai.

3. Lahan untuk pengembangan tanaman perkebunan dengan komoditas seperti vanili, cengkeh, kopi, kelapa, dll seluas 9.613 ha tersebar di sebelah barat Remboken. Wilayahnya miring dapat diatasi dengan penterasan dan penanaman mengikuti kontur, sifat fisik dan kimia tanah cukup baik, sumber tenaga tersedia, dan sarana transportasi dan infrastruktur cukup memadai.

4. Lahan untuk pengembangan agroforestry seluas 9.376 ha tersebar di sebelah timur Eris. Wilayahnya merupakan perbukitan dengan lereng curam dengan bahaya erosi tinggi dan sebaiknya diusahakan tanaman hutan.

5. Lahan untuk kawasan lindung seluas 8.298 ha tersebar di beberapa tempat bagian puncak, lereng atas volkan, dan perbukitan volkan. Wilayahnya dengan lereng curam dengan bahaya erosi tinggi dan sebaiknya dijadikan kawasan lindung.

KESIMPULAN DAN SARAN

· Suberdaya lahan di daerah penelitian mempunyai prospek untuk dikembangkan dan diintensifkan penggunaannya. Komoditas yang dapat dikembangkan diantaranya kopi, cengkeh, kakao, dan vanili untuk tanaman tahunan serta padi, jagung, kacang tanah, kentang, dan sayuran untuk tanaman pangan/hortikultura semusim.

· Tindakan konservasi yang diperlukan, adalah pembuatan teras bangku yang sudah dilakukan petani pada zona I, II, dan III, maka kendala lereng pada zona tersebut sudah diatasi, tetapi untuk kelestariannya perlu dilakukan pemeliharaan secara kontinyu.

· Berhubung daerah pengkajian merupakan obyek wisata, seyogyanya komoditas yang dikembangkan perlu dijamin kualitasnya supaya dapat dijadikan komoditas sebagai penunjang pariwisata.

· Walaupun secara umum tingkat kesuburan tanah relatif baik tetapi untuk mempertahankan produktivitas tanah pemupukan perlu dilakukan. Terutama pada tanah Andisols dengan retensi (fiksasi) fosfat relatif tinggi, pemberian pupuk P lebih tinggi dari keadaan normal.